BULUNGAN-TANJUNGNEWS.COM- Masyarakat Punan Batu Benau secara administrasi berada di wilayah Rukun Tetangga (RT) 11 Desa Sajau, Kecamatan Tanjung Palas, Kabupaten Bulungan Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara).
Mereka hidup di sepanjang Tepian Hulu Sungai Sajau dan hutan di sekeliling Gunung Benau. Lokasi hunian utama mereka berada di liang-liang goa yang tersebar di kawasan hutan Gunung Benau. Jumlah anggota komunitas ini sebanyak 35 kepala keluarga (KK) dengan 106 jiwa yang terbagi menjadi beberapa kelompok.
Komunitas Punan Batu memiliki tradisi dalam pemanfaatan sumberdaya hutan sejak jaman leluhur mereka hingga saat ini. Hampir seluruh aktivitas kehidupan mereka sangat tergantung kepada keberadaan hutan.
Mereka masih menempati liang-liang goa sebagai tempat tinggalnya, meskipun untuk beberapa saat mereka terlihat berdiam di tenda-tenda terpal di Tepian Sungai Sajau. Kehidupan keseharian mereka senantiasa berjalan menjelajahi kawasan Hutan Gunung Benau untuk mencari sumber makanan.
Bermukim secara nomaden (berpindah-pindah) di kawasan hutan Gunung Batu Benau. Mereka mampu berjalan menjelajahi hutan untuk mencari makan sekitar 4-5 kilometer setiap hari.
Durasi mereka menetap dari satu tempat ke tempat lain selama rentang waktu satu sampai dua pekan.
Berdasarkan hasil riset Institut Mochtar Riady yang dilakukan mulai tahun 2018, masyarakat Punan Batu memiliki genetik yang berbeda dengan masyarakat lainnya di Pulau Kalimantan. Mereka tercatat sebagai suku pemburu dan peramu terakhir yang masih aktif di Kalimantan.
Ma’rup salah satu Suku Punan Batu yang diundang secara resmi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk menerima penghargaan Kalpataru kategori penyelamat lingkungan.
Mengaku wilayah tempat tinggalnya hutan Gunung Batu Benau seringkali didatangi orang yang masuk tanpa izin dan hal tersebut mengganggu keberadaan mereka.
“Kalau tidak minta izin kita merasa terganggu apa maksudnya, ketika ada izinya bagus-bagus mau masuk silahkan,”kata Ma’rup.
Ma’rup berharap dirinya besarta seluruh komunitas Punan Batu bisa hidup seperti dulu, didalam hutan tanpa terganggu aktivitas perambahan hutan dari masyarakat luar yang cenderung merusak ruang hidup mereka.
“Harapanya ingin hidup seperti dulu, hutanya harus diselamatkan dan dilestarikan,” harapnya.
Untuk fasilitas pendidikan dan kesehatan di wilayahnya. Ma’rup meminta konsep sekolah rimba seperti yang disampaikan Bupati Bulungan, tanpa harus dibuatkan bangunan seperti sekolah modern.
“Sekolah rimba saya sangat setuju, tidak perlu bangunan sekolah kayak disini (Tanjung Selor) agak susah. Sekolah rimba sangat cocok disana,”ungkapnya.
Untuk fasilitas kesehatan secara berkala Pemerintah Kabupaten Bulungan juga telah mengirimkan petugas kesehatan dari Puskesmas terdekat.
Menurutnya, dalam 10 tahun terakhir sumber makanan dan buruan di ruang hidup Suku Punan Batu Benau mengalami penyusutan cukup signifikan akibat kerusakan hutan dan aktivitas masyarakat dari luar.
“Makanya kita mau melestarikan, tangkapan dan buruan kita sudah berkurang 10 tahun terakhir. Pokoknya semua binatang buruan, madu, ikan termasuk ubi juga berkurang,”keluhya.
Dalam kesempatan tersebut, dirinya ingin menyampaikan pada pemerintah bagaimana menjaga dan melindungi ruang hidup mereka dari kerusakan.
“Yang mau kami sampaikan, bagaimana melestarikan ruang hidupnya orang Punan Batu Benau,”pintanya.
Dirinya menambahkan, di kawasan Hutan Batu Benau terdapat banyak liang (Goa) yang menjadi tempat tinggal Suku Punan Batu Benau.
“Banyak liangnya, kita itu bukan hanya tinggal di liang. Kadang di liang kadang diluar, berpindah-pindah,”tutupnya.(dsh/red)