Permintaan Daging Babi Domestik Turun, Pemicu Deflasi China

Redaksi

Harga daging babi di China terus turun. Bahkan, saat perayaan imlek yang menyediakan babi sebagai makanan utama, harganya tetap merosot. Ilustrasi. (iStockphoto/chayakorn lotongkum/cnn).
Harga daging babi di China terus turun. Bahkan, saat perayaan imlek yang menyediakan babi sebagai makanan utama, harganya tetap merosot. Ilustrasi. (iStockphoto/chayakorn lotongkum/cnn).

JAKARTA– Tanjungnews.com- China kembali mengalami deflasi. Indeks Harga Konsumen dan Indeks Harga Produsen China terus mengalami gejolak dan terjadi deflasi pada Oktober 2023.
Badan Nasional Statistik (National Bureau of Statistics/NBS) China mencatat Indeks harga konsumen (Consumer Price Index/CPI) mengalami deflasi 0,2% (year on year/yoy) pada Oktober 2023. Angka ini beda tipis dibandingkan dengan perkiraan 0,1% dalam survei Reuters.

Sebelumnya, Indeks Harga Konsumen mengalami deflasi pada Juli dan kembali ke angka positif pada Agustus, kemudian datar pada September.Sementara itu, Indeks Harga Produsen (Producer Price Index /PPI) mengalami deflasi 2,6% (yoy). Dengan demikian, PPI sudah mengalami deflasi 13 bulan beruntun.

Tekanan deflasi ini terjadi karena permintaan domestik yang terus anjlok sehingga membebani proses pemulihan ekonomi China. Deflasi disebabkan terus anjloknya harga daging babi di China.

Namun, permintaan justru terus melandai di tengah naiknya produksi sehingga harga babi terus anjlok. Hal ini membuktikan China terus berjuang melawan disinflasi dan gagalnya mencapai target inflasi setahun yang ditetapkan 3%.

Baca Juga  Jaga Stabilitas Harga, DKUKMPP Bulungan Gelar Operasi Pasar Hingga Subsidi Gas Melon

Dikombinasikan dengan indikator-indikator ekonomi lainnya, data pada kuartal-IV sejauh ini menunjukkan bahwa pemulihan ekonomi masih sulit dilakukan.

“Data menunjukkan harus menekan disinflasi yang terus berlanjut di tengah lemahnya permintaan. Hal ini menjadi tantangan bagi para pembuat kebijakan China,” kata Bruce Pang, Kepala Ekonom di Jones Lang Lasalle dikutip dari Reuters, Kamis (9/11/2023).


Sebelumnya, China telah menempuh sejumlah upaya untuk mendongkrak perekonomiannya, termasuk penerbitan obligasi negara sebesar 1 triliun yuan atau US$ 137,43 miliar. Tidak hanya itu, negara tersebut akan mengambil langkah yang memungkinkan pemerintah daerah untuk memenuhi sebagian kuota obligasi pada tahun 2024.

Sayangnya, krisis properti, risiko utang daerah, dan perbedaan kebijakan dengan negara-negara Barat semakin mempersulit proses pemulihan ekonomi negara tersebut. (ara/ detikfinance/dsh/red)

Baca Juga  Cadangan Devisa Indonesia, Januari 2025 Meningkat jadi 156,1 Miliar Dolar AS

Bagikan

Tags

Berita Terkait