“Nasionalisme”

Redaksi

Catatan,H. Rachmat Rolau (Ketua DK-PWI Kaltara)
Catatan,H. Rachmat Rolau (Ketua DK-PWI Kaltara)

MENCINTAI suatu bangsa tidak cukup sekadar ucapan konotatif yang retorik. Nasionalisme harus dimanifestasikan dengan cara berbuat baik untuk semua orang. Dalam Islam, nasionalisme adalah keniscayaan yang dibuktikan oleh perbuatan. “Sebaik-baik “manusia” ialah yang bermanfaat bagi semua orang”. Demikian baginda Rasul dalam sabdanya.

“Manusia” yang dimaksud di sini adalah, personal atau perseorangan yang berbuat baik bagi orang banyak. Lantas siapa orang paling baik dan bermanfaat? Jawabnya, pemimpin yang punya kekuasaan. Gubernur, bupati, walikota dan pejabat-pejabat lainnya. Itulah yang punya potensi besar membuat kebaikan bagi semua orang.

Seorang warga hanya bisa berbuat baik sebatas beberapa orang saja, tetapi sulit berbuat baik bagi seluruh warga. Ketika walikota, gubernur atau pejabat berbuat baik, maka seluruh warga akan merasakan manfaat bebaikan itu. Rencana seorang walikota yang di arahkan untuk kebaikan, maka semua orang akan menikmati manfaatnya.

Baca Juga  Kotak Kosong dan Kepatutan Berdemokrasi

Contoh rencana baik itu, misalnya. Sebidang lahan milik warga yang menjadi lalulintas keluar-masuknya anak-anak sekolah tiba-tiba ditutup pemiliknya. Tentu tindakan penutupan tersebut menjadi penghambat untuk proses belajar-mengajar di sekolah itu.  Dalam kasus ini, pemerintah harus hadir. Atas dasar kebaikan untuk semua, walikota langsung membebaskan tanah tersebut dengan  membayar ganti rugi sang pemilik tanah.

Itulah arti sebuah maknah kebaikan untuk semua sebagai manifestasi rasa nasionalisme seorang pemimpin. Kebaikan tidak boleh sekadar pengakuan tetapi dibuktikan dengan cara membeli lahan warga demi kelancaran aktifitas di sekolah itu. Nasionalisme yang baik muncul karena adanya komitmen. Sementara komitmen terbangun atas dorongan moral yang menjadi sumber hukum yang paling tinggi.

Ketika pememrintah ingin berbuat baik, maka semua keputusannya harus mengarah pada kepentingan semua orang bukan kepada keluarga atau kelompok. Itulah nasionalisme sejati. Sebaliknya, egoisme terjadi ketika program pemerintah hanya di arahkan kepada  segelintir orang dan kroninya.  Secara empiris, gugurnya nasionalisme dalam diri banyak pemimpin disebabkan adanya provokasi egoisme dalam diri seorang pemimpin.  

Baca Juga  Menakar Imbas Sekolah Rakyat dan Sekolah Unggulan

Di era yang serba bias ini, masyarakat merindukan sosok pemimpin bermoral. Di saat semua masyarakat akar rumput (grass root level) bertutur tentang perlunya pejabat yang moral, kepatutan harus menjadi landasan suatu keputusan. Kepatutan merupakan perbuatan tak tertulis dalam norma mana pun.  Karena itu sesuatu yang tidak patut hendaknya harus ditinggalkan.

Ada kisah menarik tentang kepatutan dari majelis hakim pengadilan New Jersey, Amerika Serikat. Berawal dari kasus antara Henningsen melawan perusahaan mobil Bloomfield di negara bagian New Jersey. Dalam kasus itu, Henningsen membeli sebuah mobil. Berdasarkan kontrak, tanggunggugat produsen hanya sebatas memperbaiki bagian-bagian mobil yang cacat.

Baca Juga  Nilai Kepatutan Kasta Tertinggi dalam Tatanan Norma

Selebihnya, produsen mobil tidak bertanggungjawab. Beberapa lama kemudian terjadi kecelakaan. Henningsen lantas menggugat produsen mobil dan meminta biaya pengobatan, meski pun di dalam kontrak tidak terdapat klausul pengobatan sebagaimana yang disepakati.

Yang mengejutkan, pengadilan New Jersey ternyata mengabulkan seluruh gugatan Henningsen dengan memerintahkan produsen mematuhi putusan. Artinya, kepatutan menjadi landasan pertimbangan untuk melakukan suatu perbuatan hukum.

Sebuah peribahasa Romawi mengatakan, “pacta sunt servanda” – setiap perjanjian harus ditepati. Bila peribahasa ini diinterpretasikan dengan KUH Perdata pasal 1338 yang mengatakan,  persetujuan kedua belah pihak secara sah berlaku sebagai undang-undang. Pesan moralnya adalah, kalau sudah berjanji jangan diingkari. “Al wa’du dhai nun – janji adalah utang”. Demikian pepatah Arab. Persoalannya, bagaimana cara membayar janji? Apakah dengan berjanji lagi? (red)

Bagikan

Tags

Berita Terkait