DULU, orang-orang tua di kampung tidak berpendidikan tinggi. Paling tinggi SGB ( sekolah guru tingkat bawah) setara SMP. Mereka sudah bisa jadi guru dan sangat menguasai bidangnya.
Di kampung saya hanya ada satu paman yang guru bahasa Inggris di SMA lulusan SGA . Pokoknya, orang-orang tua dulu rata-rata tamatan SR – semacam SD. Banyak juga tidak tamat.
Tetapi ketika bicara tentang komitmen dan kepercayaan (trust), orang-orang tua dulu sangat tegas. “Satunya kata dengan perbuatan”. Kalimat sakral itu dipegang teguh. Sebab, ucapan merupakan simbol harga diri. Ketika mengucapkan suatu janji tidak perlu diragukan. Tidak perlu dibuatkan surat pernyataan karena khawatir mengingkarinya.
Begitu juga ketika memilih pemangku adat. Mereka tidak bisa disogok. Lagi pula tidak ada yang mau memberi sogok. Mereka tidak terbiasa menyogok. Padahal, mereka lebih dulu tahu tentang sogok alias suap. Sogok-menyogok bukan perkara baru bagi mereka.
Beberapa abad silam, kata “sogok” sudah disabdakan baginda nabi dalam salah satu hadisnya. Ia katakan, “orang yang menyokok dan menerima sogok sama-sama masuk neraka”. Artinya, suap-menyuap di era nabi memang sudah ada. Hanya saja orang-orang di zaman itu tidak berani menyogok apa lagi dilakukan di saat memilih seorang pemimpin (khalifah).
Mungkin saja ada yang bilang begini: “orang-orang dulu tidak punya uang yang bisa dipakai menyogok”. Pendapat ini keliru. Orang-orang kaya di zaman nabi, sangat banyak. Bahkan para sahabat ada yang menyumbangkan hartanya berupa domba sebanyak satu lebah.
Ada yang bersedekah dalam bentuk uang dinar (koin emas). Ada berupa dirham dan berpuluh bahkan ratusan karung gandum. Jumlahnya pun sangat fantastis. Kalau dikonversi ke dalam rupiah saat ini mencapai ratusan milyar bahkan triliunan.
Nabi Sulaiman, ketika akan memerangi Ratu Balqies sang pemuja matahari dari kerajaan Sabaah, pernah mau disogok. Tetapi Sulaiman berkata: “harta dari Tuhanku jauh lebih besar dan lebih banyak dari harta yang engkau tawarkan padaku”.
“Sulaiman, kan, nabi paling kaya di zamannya. Jadi mana mungkin mau menerima sogok”, demikian (mungkin) jawaban sementara orang. Tetapi ingat, Sulaiman tidak hanya ditawari harta tetapi separoh dari kerajaan (Sabaah). Yang penting Sulaiman tidak memerangi kerajaan itu.
Inilah prinsip keteguhan komitmen seorang nabi yang senantiasa mendahulukan kepentingan rakyatnya di atas kepentingan pribadinya. Sebab, kehancuran sebuah negara, diawali dari rusaknya kepribadian dan komitmen seorang pemimpin.
Berbeda dengan sekarang, di mana, komitmen dan kepercayaan dari seorang pemimpin menjadi luntur ketika berhadapan dengan harta yang nilainya jauh lebih kecil dibanding apa yang mereka korbankan.
Banyak pejabat yang sudah kaya dan superkaya. Tetapi keserakahan dan egoisme membuat harga dirinya tergadai, tersandera kekuasaannya yang pada akhirnya mengorbankan kepentingan seluruh rakyat.
Ada beberapa hal yang sangat dijaga oleh orang-orang terdahulu. Antara lain, ucapan/janji, perbuatan serta kepercayaan. Ketika ucapan dan janji disimpangi, maka nilai mereka sangat rendah di mata keluarga, orang lain dan lingkungannya. Pun dengan perbuatan dan kepercayaan. Mereka sangat disiplin menjaga kepercayaan karena itulah yang membuat mereka disegani dan dihormati oleh rakyat.
Dahulu, ada pepatah Yunani mengatakan, vox populi vox dei – suara rakyat suara Tuhan. Suara rakyat merupakan representasi kebanaran. Suara rakyat sebagai suara terbanyak adalah keniscayaan dari hati nurani rakyat dalam memilih seorang pemimpin.
Sekarang, peribahasa itu tidak berlaku lagi. Suara terbanyak tidak menjamin akan menghasilkan seorang pemimpin yang ideal.
Hal ini disebabkan perbuatan penyogok dengan yang disogok. Sudah bukan rahasia lagi, bahwa untuk bisa menjadi seorang peresiden, gubernur, bupati atau walikota, harus siap isi tas.
Untuk apa? Untuk membeli suara rakyat. Maka pepatah Yunani di atas berubah menjadi: “suara rakyat suara uang”. (dsh/red)