Catatan, H. Rachmat Rolau (Wartawan Senior)
PATUT adalah “kata” sifat yang merujuk pada sesuatu perbuatan baik yang bersifat abstrak. Dalam KUH Perdata disebut kepatutan yang bermakna keadilan. Maka prinsip kepatutan (redelijkheid) dan prinsip keadilan (billijkheid) adalah sepasang prinsip yang tidak terpisahkan dan merupakan penafsiran dari makna I’tikat baik.
Istilah i’tikat baik (good faith) yang selama ini digunakan dapat digantikan dengan istilah kepatutan dan keadilan (reasonableness and fairness). Kepatutan ini merupakan lawan dari ketidak-patutan yang sering merugikan orang lain.
Belum ada norma apapun yang secara tegas mengatur sanksi ketidak-patutan itu. Padahal, jika ditilik dari sudut pandang hubungan moral yang menjadi landasan dan filosofi hukum, kepatutan perlu diskusikan bersama agar menjadi bagian dari norma hukum itu sendiri meski pun di dalam lingkup KUH Perdata telah disebutkan tetapi tidak mengandung sanksi pidana.
Asas kepatutan memang disebutkan dalam KUH Perdata di pasal 1339 tetapi hanya dalam hubungan “perjanjian” atau kontrak tanpa sanksi pidana. Ada banyak contoh kasus mengenai ketidak-patutan yang hanya memberi sanksi sebatas ganti-rugi bagi korban.
Sebuah contoh kasus tentang ketidak-patutan, itu pernah dikemukakan oleh Ronald Dworkin – filusuf dan ahli hukum asal Amerika Serikat, yakni , kasus Henningsen vs Bloomfield – produsen mobil asal New Jersey –negara bagian di Amerika.
Dalam kasus itu, Henningsen membeli sebuah mobil. Berdasarkan kontrak (perjanjian), tanggungjawab produsen mobil (Bloomfield) hanya sebatas memperbaiki bagian-bagian kecil mobil yang cacat. Selebihnya, produsen tidak bertanggungjawab.
Tidak begitu lama mobil mengalami kecelakaan. Henningsen lantas menggungat Bloomfield dengan menyertakan biaya pengobatan.
Heningsen sadar betul bahwa dalil untuk mengajukan gugatan, itu sulit dikabulkan karena tidak terdapat dalam salah satu klausul kontrak yang sudah disepakati. Tetapi di luar gugaan, hakim mengadilan New Jersey mengabulkan semua gugatan Henningsen.
Hakim berpendapat, berdasarkan asas kepatutan, Bloomfield sebagai produsen mobil harus bertanggung-gugat atas cacat mobil yang menyebabkan terjadinya kecelakaan. Ditilik dari sudut pandang hukum perdata, jelas, asas kepatutan lebih menjadi acuan hakim dari pada klausul-klausul yang tertuang dalam kontrak.
Menurut Dworkin, keputusan majelis hakim untuk memilih kepatutan sebagai acuan hukum disebabkan oleh bentuk perjanjian yang dibuat tidak mencerminkan rasa keadilan. Dworkin melihat ada arogansi administrasi oleh produsen mobil dalam membuat perjanjian yang tidak adil.
Padahal, di pasal 1339 KUH Perdata disebutkan; setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya. Ini artinya, hakim mengabaikan undang-undang dan memilih kepatutan sebagai dasar putusan.
Oleh karena itu membuat perjanjian (kontrak) hendaknya selalu berdasarkan prinsip kepatutan dan rasa keadilan yang menguntungkan para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian itu.
Perlu diingat, kepatutan dan keadilan ibarat dua sisi yang tidak terpisahkan dan merupakan penafsiran dari I’tikat baik itu sendiri.
Harus diingat, bahwa kepatutan memiliki kedudukan (kasta) jauh lebih tinggi dari norma apapun, sebab ia bersumber dari moral seseorang.
Maka benar kata Dworkin, arogansi kekuasaan harus dikoreksi demi tegaknya asas kepatutan sehingga segala tindakan dan kebijakan dari pemerintah selalu patut dan berkeadilan. “Ubi societas ibi justicia – di mana ada masyarakat di situ harus ada keadilan”. (dsh/red)